Mengutip sebuah karya dari Dee Lestari berjudul Peluk.
"Habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?"
Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.
Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas akan terjadi apa. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.
"Habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?"
Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.
Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas akan terjadi apa. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.
Hati ini adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku
ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah
dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan
akhirnya pasrah dalam amarah.
Rectoverso
Dee Lestari
No comments:
Post a Comment