Wednesday 27 March 2019

3 Hari Melancong ke Singapura

P.S. : INI TULISAN 4 TAHUN YANG LALU ALIAS TAHUN 2015 :))
Jadi kalo ada cerita yang basian ku monmap...

Sebenernya basi banget sih karena perginya udah hampir 3 tahun yang lalu (kalo dari tahun 2019 berarti 7 tahun yang lalu). Jadi kalo masalah budget dan urutan perjalanan jangan ditanya karena udah lupa semua. Tapi kan pepatah bijak berkata...


"You might forget the printilan, but you'll never forget how the trip made you feel." -Cita Teguh

Jadi,
Ini pertama kalinya saya melancong ke luar negeri. Sewaktu itu saya baru lulus sidang dan masih menunggu wisuda. Sebagai mahasiswi setengah lulus, tekad saya waktu itu bukan cepat dapet kerja, melainkan harus pernah menginjakkan kaki ke luar negeri sebelum bekerja! Entah kenapa...

Sehingga berangkatlah saya!

Bermodalkan paspor yang telah satu tahun lebih teronggok tersapu debu di meja belajar, tiket Airasia seharga kurleb 800 ribu perak, dan restu orangtua, saya berangkat ke Singapura dengan teman saya, Lukita dan temannya, Rizka. Baru kenal juga sama Rizka sewaktu di erpot dan ternyata kita bertiga sama-sama first timer. Sehingga jadilah kita temen sepernyasaran.

Setelah 2 jam berlalu, akhirnya kita turun pesawat dan... lho, ini Senayan City?


Tenang mbak. Itu pertanda anda telah sampai di Changi Airport. Sebelum kesana kita juga emang udah sempet googling, konon disana erpotnya bagus banget kek mol, dan emang bener. Dan yang lebih pentingnya lagi, buat para pelancong, di Changi kita bisa ambil brosur dan pamflet yang isinya info tentang tempat-tempat pariwisata disana, bahkan ada map MRT. Ini berguna banget sih buat yang rencana kemana-mana naik MRT.


Kita sampai disana sekitar jam 10 pagi. Hal pertama yang kita cari: sim card provider! Biarpun katanya di Singapura wifi ada dimana-mana, kita tetep mau cari simcard supaya tetep update. Di Changi kita sempet nemu tempat yang jual sim card, sayang mbak'e yang ngejual ngomong enggresnya ngebut banget layaknya Valentino Rossi mau dibalap Pedrosa. Udah "pardon pardon" terus kayaknya dia bete karena kita gak kunjung ngerti. Alhasill menyerahlah kita dan cabut ke hostel nailk MRT. Bagusnya lagi MRT juga terintegrasi antar terminal. Pokoknya tourist-friendly banget deh transportasi publiknya.

Btw, kita nginep di The Hive Backpackers di Serangoon Road. Persis di ujung jalannya Little India. Jadi tenang, bagi yang kurang suka wangi-wangian ala India disitu gak kecium kok. Bahkan saya merekomendasikan hostel tempat saya tinggal itu soalnya tinggal jalan kaki dari stasiun MRT Boon Keng, tempatnya juga nyaman. Kita pesen di kamar 6 bunk bed female only dan hari pertama isinya cuma kita bertiga IHIY! Breakfastnya juga lumayan ada sereal dan roti beserta selir-selir, eh, selai-selainya. Mau susu ada, mau teh ataupun air putih panas juga ada. Mau minjem colokan 3 kaki juga ada tapi dicharge sehari berapa gitu.

Dari situ kita melakukan perjalanan mencari sim card lagi *kekeuh mau ngasih update sama orang-orang tercinta* lalu belilah kita di toko tapi anehnya saya lupa itu 7eleven apa bukan. Yang ngelayanin orang Indihe. Beruntunglah karena ternyata orang Indihe ini enggresnya lebih mumpuni dan aksennya mudah dipahami.

Untuk selanjutnya saya lupa selupa-lupanya urutannya kemana aja. Yang saya inget kita ke beberapa tempat ini:
1. Merlion Park
Tempat foto wajib untuk yang baru pertama kali pergi ke Singapura. Dengan pose ala Merlion mancurin air, pose ala minum air pancurannya Merlion, pose kesembur Merlion dan pose-pose lainnya. Ya kurleb kita begitu jugalah, tapi versi anggunnya.
2. ION Orchard
Emol is emol. Karena di Jakarta udah banyak banget emol, jadi gak tau disana mau ngapain di emol.
3. Mustafa Centre
Surganya pecinta cokelat. (Katanya sih) cokelatnya enak-enakk dan banyak. Banyak sih iya, tapi enak ya lumayan aja soalnya baru bisa beli yang muree *derita mahasiswi baru lulus sidang* disana juga banyak cemilan lainnya jadi kalo untuk oleh-oleh enak juga sih bisa sekalian beli banyak macem.
4. Chinatown
Disini banyak spot bagus juga buat foto dan buat belenjiii.
5. Marina Bay Sands
Ini juga tempat foto wajib bagi para first timer. Waktu itu kita cuma ke mol sih. Sewaktu naik MRT kesana sempet degdegan karena kelebihan satu stasiun pas turun. Takut kartu MRTnya gak bisa dimasukin ke mesin karena fares-nya beda. Eh ternyata kita boleh nuker kartu langsung di kasir dan bayar kekurangan fares-nya. Phew
Sayang kita gak sempet ke Gardens by the Bay, padahal udah deket banget sama MBS tapi kayaknya waktu itu kita gak ngeh akan keberadaannya.
6. Sentosa Island
Kita kesini naik cable car dari Vivocity Mall. Mau ngeliat pantai yang konon tanahnya dikeruk dari Indo. Disana kita keliling-keliling dan sempet hujan. Akhirnya kita gak masuk USS deh *padahal karena ngirit*

Kesan pesan saya tentang Singapura:
1. Kotanya bersih pake banget.
2. Jalanan juga relatif sepi (ya kalo dibanding sama Jakarta sih...)
3. MRTnya udah integrated banget. 

DAH ITU AJA.

Unek-unek

P.S. : CAN'T BELIEVE I WROTE THIS ON 2015 :))

The planet doesn’t need more ‘successful’ people. But it does desperately need more peacemakers, healers, restorers, storytellers, and lovers of every shape and form. It needs people who will live well in their places. It needs people of moral courage willing to join the fight to make the world habitable and humane. And these needs have little to do with success as our culture has defined it.
(I'm not sure about the source, it could be Dalai Lama or David W. Orr, the author of Earth and Mind)

Well, the thing is, this is the quote I'm looking for. Saya sudah cukup lama memikirkan tentang hal ini dan belum tau bagaimana cara mengekspresikannya dengan kata-kata yang tepat. Mengganggu sekali rasanya, seperti ada yang berputar-putar dalam otak namun tidak dapat keluar menjadi kalimat.So, I'm happy now! :)

Saya seorang wanita berusia 26 tahun dan bekerja di salah satu kantor akuntan publik di daerah SCBD. Telah mengenal dunia kerja selama kurang lebih 2,5 tahun. Semakin tidak mengerti dengan apa yang dikejar kebanyakan orang dalam hidup ini.

Kebanyakan orang menginginkan kesuksesan dalam karir. Semangat berkompetisi sangat tinggi. People wanna see you do good, but never better than them. Pada dasarnya, banyak manusia yang ingin mengalahkan orang lain. Mengalahkan kompetitor, bahkan mengalahkan koleganya sendiri (jabatan itu terbatas bukan?). Tapi, tentu saja tidak banyak yang mau mengakui hal itu. Why? Because it sounds rude. And I sounds rude for exposing facts.

Sampai mana kesuksesan karir akan dikejar? Bumi ini semakin hancur setiap harinya, tetapi orang sangat sibuk mengejar karir dan seperti tidak peduli akan hal itu. Banyak yang mengetahui hal itu, tetapi tidak banyak yang menyadarinya. Seakan-akan mereka merasa itu bukan tanggung jawab mereka dan akan ada orang lain yang menyelesaikan masalah itu.

Polusi, penggunaan bahan-bahan tidak ramah lingkungan, penebangan pohon yang berlebihan, pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan alam, serta buang sampah yang tidak pada tempatnya.

We don't deserve the earth, huh?

Sunday 8 January 2017

Papa

That's what I should call him, if only he's still alive.

Papa saya, Hari Pratomo Satio, meninggal pada hari Kamis, 19 April 1990. Tepat seminggu sebelum ulang tahun pertama saya di dunia ini. Meninggal saat tidur, setelah sahur dan sholat subuh. Serangan jantung atau angin duduk, only God knows.

Sedihkah saya? Pasti. Walaupun saat itu saya belum mengerti apa-apa. Walaupun rasa sayang dan rasa memiliki seorang ayah seperti belum terjalin, tapi rasa merindukan itu ada.

Marahkah saya? Pasti pernah. Ada saatnya saya merasa Tuhan sangat tega karena mengambil papa saya secepat itu, bahkan sebelum saya sempat mengenalnya.
Iri ketika teman menceritakan soal perilaku lucu ayahnya. Iri ketika melihat orang lain sangat bangga dengan ayahnya. Iri, karena bahkan saya tidak tau apa rasanya berinteraksi dengan papa saya. Walaupun tidak semua cerita tentang ayah orang lain adalah cerita gembira, tapi kadang masih ada rasa iri. Iri karena tidak tau apa rasanya memiliki ayah. An empty space in my heart that will never be filled.

Di lain sisi, saya bersyukur.

Saya bersyukur karena sosok papa yang saya tau adalah orang yang baik dan dirindukan oleh teman dan saudara-saudaranya. Salah satu jalan saya mengenal papa adalah dengan mendengar cerita, kebanyakan dari om tante, eyang, dan mama tentunya. Semua adalah cerita yang baik, tentang nakalnya, isengnya dan kebaikan hatinya. Kebanyakan tentang isengnya sih :')

I love you, Papa.

Sekarang saya hanya bisa merelakan dan mendoakan.

Allahummaghfirli wa liwalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiiroo.

Tuesday 2 December 2014

Let's Bloom Together


Aku baru saja menemukan quote ini. Lebih tepatnya, baru saja melihat seorang teman posting quote ini di jejaring sosial Path. I find it very beautiful phrase.

Katakan aku munafik, tetapi aku memang tidak berkompetisi dalam hidup. Dalam artian, aku (benar-benar) tidak ingin mengalahkan orang lain demi mencapai tujuanku. Aku berulang kali mengatakan hal itu kepada siapa pun yang mengenalku (dan kebetulan sedang membahas mengenai 'kompetisi').

Hanya saja, kadang orang mengsalahartikan. Tidak berkompetisi bukan berarti tidak mempunyai dorongan untuk maju atau ambisi atau apalah. Kalaupun ada, satu-satunya kompetisi yang aku lakukan adalah berkompetisi dengan diriku sendiri. The old me. Tentu saja aku selalu ingin menjadi lebih baik dari aku yang sebelumnya.

Karena itu, yuk, let's bloom together :)

Saturday 28 December 2013

The Great Design [Part I]

Hidup ini adalah sebuah desain.

Bicara tentang desain, membuatku teringat akan sesuatu hal. Saat itu, di malam hari, aku mendapat sebuah pesan bbm dari seorang teman kuliah. Ketika kubalas malam itu dia tidak membalas lagi. Mungkin sudah tidur, pikirku. Aku pun tidur setelah itu. Paginya, dia membalas. Dia bercerita tentang bagaimana stressnya mengerjakan skripsi. Temanku itu sedang berusaha untuk mencari perusahaan lain untuk dijadikan subyek skripsi. Aku sangat bisa merasakannya. Bayang-bayang skripsi masih melekat di ingatanku. Aku jadi teringat akan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan perusahaan untuk skripsi dulu.
Saat itu, sekitar 2 bulan sebelum pengumpulan proposal skripsi, aku mengikuti les bahasa Korea. Aku mengikutinya sendiri, berbekal informasi yang kudapat dari google. Orang yang dekat denganku pasti tahu, bahwa aku tidak biasa sepeti itu. Aku yang biasanya, tidak akan mau mengikuti suatu hal tanpa ada teman bersamaku. Untuk alasan praktis aku berubah. Aku pikir aku tidak akan memulai jika apa-apa harus ada temannya. Akhirnya aku terpaksa untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Terpaksa untuk approach mereka terlebih dahulu. Dan pada akhirnya aku menemukan 2 orang teman yang bekerja di stasiun televisi milik Negara. Dari merekalah aku mendapatkan jalan untuk mengirimkan permohonan penelitian skripsiku. Diterima.
Aku tidak mempunyai koneksi, terutama karena perusahaan yang kucari juga memiliki lingkup tertentu. Bisa saja aku belum menyelesaikan skripsiku sekarang jika aku tidak memulai les bahasa Korea. Tidak terpikirkan sebelumnya kalau itu semua merupakan sebuah desain.

Cerita lainnya adalah tentang satu pasangan.

Ega adalah saudara sepupuku. Nenek dari Ega dan kakekku adalah kakak adik. Aku mengenalnya sejak kecil, tentu saja, karena dia saudaraku yang juga dari Jakarta.
Vya adalah teman karibku dari SMA sampai sekarang. Vya merupakan orang yang sangat ramai dan ceria. Berbeda dengan aku yang lebih introvert. Kami berteman baik. Bercerita tentang banyak hal. Sewaktu SMA dulu, aku sempat mengenalkan dia dengan sepupuku yang lain, tapi tidak berjalan lancar. Setelah itu aku sempat ingin mengenalkan dia dengan Ega, tetapi tidak jadi, aku tidak tahu nomor telepon genggam Ega dan entah mengapa dulu aku pikir "sudahlah nanti kalau waktunya Vya punya pasangan juga ia akan mendapatkannya, sudah tidak perlu dikenal-kenalkan lagi."
Beberapa tahun kemudian, Ega dan Vya berkuliah di kampus yang sama dengan jurusan yang sama. Mereka berteman tanpa harus aku kenalkan. Entah 1 atau 2 tahun berlalu pada akhirnya mereka memutuskan untuk jalan bersama setelah Vya memutuskan hubungan dengan pasangan sebelumnya. Hubungan Ega dan Vya masih berlangsung sampai sekarang. Kalau dulu aku mengenalkan mereka, ceritanya bisa berbeda.

Hidup ini bukan essay, melainkan pilihan ganda di dalam pilihan ganda.

Bisa jadi konsep parallel universe itu benar adanya.

Sunday 22 December 2013

Black & White

Life isn't always black and white, they said.

Your mistakes makes you a wiser person. You learn to accept other people's flaws. You learn to understand why, at some point, people do the wrong things.

Sunday 15 December 2013

Peluk

Mengutip sebuah karya dari Dee Lestari berjudul Peluk.



"Habis ini, lalu apa? Kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?"

Suaramu pertama dalam setengah jam terakhir.


Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas akan terjadi apa. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.

Hati ini adalah air, aku lantas menyimpulkan. Baru mengalir jika menggulir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ada gravitasi yang secara alamiah menggiringnya. Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah. Berkali-kali. Namun kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak. Sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pasrah dalam amarah.


Rectoverso
Dee Lestari